Jumat, 19 Juni 2009

Resolusi Terhadap Israel

Perhatian dunia internasional pada pergantian tahun 2008/2009 benar-benar tersita dengan tragedi yang terjadi di Jalur Gaza.

Ketegangan politik antara Israel dengan Hamas memuncak dan menjadi perhatian utama dunia internasional setelah Israel melakukan serangan secara membabi buta. Tak dapat dielakkan lagi, korbanpun berjatuhan, ratusan manusia meregang nyawa, termasuk penduduk sipil dan juga anak-anak tidak luput menjadi korban kebrutalan Israel.

Sampai saat ini, hampir tidak ada yang dapat memastikan sampai kapan serangan brutal itu akan berhenti. Yang pasti hanya antara Hamas dan Israel lah yang tahu kapan serangan itu akan berakhir, yaitu ketika kedua belah pihak telah mencapai titik temu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri yang seyogianya menjadi penengah diantara negara-negara yang sedang dilanda konflik nampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan aksi kekejian yang dilakukan oleh Israel.

Maklum, sebagaimana kita ketahui bahwa dibelakang Israel ada negara adi daya Amerika Serikat yang selalu menjadi pembela dan pendukung setiap langkah Israel. Amerika sebagai salah satu negara pemegang hak Veto di PBB menjadi batu sandungan bagi lembaga internasional itu ketika hendak menjatuhkan sebuah hukuman/sanksi terhadap Israel. Kondisi inilah yang terjadi sampai saat ini.

Bahkan untuk pendistribusian bantuan dari berbagai negara ke Jalur Gaza sempat mengalami hambatan karena pasukan militer Israel tidak menginjinkan bantuan tersebut masuk ke wilayah Palestina. Akibatnya, upaya untuk meminimalisir korban yang meninggal dunia pun menjadi sulit dilakukan. Sementara ada begitu banyak rakyat Palestina yang sangat membutuhkan pertolongan tersebut.

Sebegitu kejamkah Israel, sehingga sampai-sampai penyaluran bantuan kemanusiaan dunia internasional pun tidak diijinkan untuk memasuki wilayah Palestina?. Apa sebenarnya yang menjadi akar dari semua persoalan tersebut?.

Akar Permasalahan

Sebenarnya kalau diteliti lebih jauh, bahwa apa yang menjadi pemicu persoalan antara Hamas dan Israel nampaknya bukanlah masalah aliran agama/kepercayaan. Konflik yang memicu Israel dan Palestina yang sudah melahirkan perang, baik dalam bentuk agresi militer Israel maupun dalam bentuk serangan roket Hamas lebih tepat kalau dikatakan sebagai persoalan kedaulatan negara, yaitu pengakuan wilayah kedua belah pihak.

Akarnya bisa dilacak dengan menelusuri sejarah mulai awal abad ke 20, yaitu sekitar tahun 1930-1948 dimana ketika itu muncul antisemitisisme di Eropa. Xenophobia terhadap orang-orang Yahudi di Eropa terutama di Jerman dan Perncis telah memaksa mereka untuk membeli tanah di wilayah Palestina. Maka terjadilah proses pembelian tanah secara besar-besaran yang belakangan dicaplok oleh Israel untuk menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya.

Namun demikian, juga tidak tertutup kemungkinan bahwa konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina sebagai buah dari persinggungan ruang-ruang sosial yang ada, seperti politik, ekonomi, hukum dan juga budaya. Bisa saja praktek semacam itu merupakan akumulasi dari keinginan-keinginan yang tidak terungkapkan dan tidak memiliki tempat dalam ruang sosial.
Sementara kalau dikaitkan masalah agama/aliran kepercayaan, nampaknya hal ini bukanlah pemicu utamanya.

Sebab kalau melihat masyarakat Palestina yang menjadi korban serangan keji Israel, bahwa disana juga banyak warga kristen yang tidak luput dari serangan membabi buta itu. Memang kebanyakan korban yang meninggal dunia maupun yang mengalami luka parah adalah warga muslim, namun tidak sedikit juga warga kristen yang menjadi korban disana.

Dalam catatan sejarah juga telah terbukti bahwa antara warga muslim dan kristen Palestina selama ini hidup dalam suasana perdamaian, meskipun mayoritas penduduk Palestina adalah Muslim. Mereka sama-sama mencintai tanah airnya dan mereka memiliki cita-cita nasional yang sama pula. Perbedaan agama di Palestina selama ini tidak membuat negara itu terpecah dan melupakan nasionalismenya.

Bukan Persoalan Agama

Demikian juga dengan perjuangan masyarakat Palestina selama ini menuju negara yang merdeka, adil dan sejahtera sama-sama dilakukan oleh warga Palestina, baik yang menganur agama muslim maupun kristen. Mereka sadar bahwa aliran kepercayaan bukanlah menjadi pemisah diantara mereka yang serumpun dan sebangsa untuk memperjuangkan negara mereka menuju negara yang sejahtera.

Sejarah juga telah mencatat bahwa sejumlah figur-figur yang menjadi pejuang Palestina sebagian berasal dari kalangan kristen. Sebut saja misalnya Emil Habibi, George Habash, dan Hanan Ashrawi yang mana mereka adalah merupakan tokoh-tokoh penting dalam perhelatan politik negara Palestina. Demikian juga dengan Raja Shehadeh yang merupakan penulis dan pakar hukum terkemuka dan juga Raymonda Tawil yang merupakan aktivis politik dan juga merupakan ibu mertua dari Almarhum Yasser Arafat.

Bahkan dalam perhelatan dunia internasional, ada Edward Said yang merupakan intelektual dan aktivis politik kristen Palestina yang telah mati-matian membela kepentingan rakyat Palestina. Semua itu menunjukkan bahwa sebenarnya selama ini masyarakat Palestina sudah hidup berdam pingan baik antara kristen dan muslim.

Oleh sebab itu, maka sangat kurang tepat bila mengkaitkan persoalan yang terjadi di jalur Gaza dengan persoalan agama. Apalagi bila melihat bahwa korban dari kebiadaban Israel juga sebagian berasal dari kalangan kristen. Tentu bila persoalan ini merupakan persoalan agama, barangkali Israel tidak akan melakukan serangan secara membabi buta kepada penduduk Palestina. Karena mereka juga tahu betul bahwa di Palestina itu ada sebagian masyarakat yang beragama kristen.

Peran PBB

Terlepas dari apa sebenarnya yang menjadi pemicu konflik Israel dan Palestina, yang lebih penting adalah bagaimana menghentikan serangan yang tidak manusiawi itu agar jangan sampai berlarut-larut dan memakan korban lebih banyak lagi. Disinilah sebenarnya dibutuhkan peran PBB sebagai lembaga internasional untuk menjaga dan memelihara perdamaian dunia. PBB harus mampu menciptakan perdamaian dunia agar kelak kredibilitas PBB benar-benar diakui oleh masyarakat internasional.

Apa yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap The Hague Conventions dan The Geneva Conventions sejauh terkait conduct of war dan serangan terhadap warga sipil. Serangan Israel juga dapat dikategorikan pelanggaran terhadap Statuta Roma. Pertanyaannya, mengapa dunia tak berdaya? Mengapa Dewan Keamanan PBB tak bisa menghentikan perang yang membunuh banyak warga sipil?

Bila dikaji dari sudut pandang Hak Azasi Manusia, maka sebenarnya PBB bisa melakukan beberapa langkah. Langkah pertama adalah memelihara keamanan dan perdamaian internasional sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB. PBB wajib melakukan semua tindakan yang dapat menghentikan semua ancaman keamanan dan perdamaian terhadap seluruh negara di dunia.

Langkah berikutnya adalah yang disebut dengan istilah humanitarian intervention bisa dilakukan untuk membantu korban warga sipil tak berdosa. Langkah ini juga nampaknya belum dilakukan oleh PBB. Kewajiban internasional yang disebut responsibility to protect pernah dilakukan di Bosnia, Rwanda, tetapi terlambat. Apakah kejadian yang sama akan terjadi di jalur Gaza?.

Memang, pada tanggal 9 Januari 2009, PBB telah berhasil mengeluarkan resolusi bernomor 1860/2009 tentang serangan militer Israel ke Jalur Gaza. Keluarnya resolusi tersebut pantas kita apresiasi, apalagi bila mengingat bahwa sebelumnya DK PBB telah melakukan sidang, namun tidak berhasil melahirkan sebuah resolusi akibat tidak adanya persetujuan Amerika sebagai salah satu negara pemegang hak veto.

Dalam resolusi tersebut, masalah gencatan senjata dan penyaluran bantuan kemanusiaan menjadi prioritas utama untuk membantu beban rakyat Palestina yang menjadi korban kebiadaban Israel. Namun yang menjadi pertanyaan sekrang adalah sejauh manakah efektivitas dari Resolusi 1860 DK PBB tersebut untuk menghentikan pembantaian kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza?. Apakah resolusi tersebut akan mampu membendung hasrat dan niat Israel yang selalu ingin meluluhlantakkan Hamas atau justru sebaliknya, resolusi tersebut justru diabaikan oleh Israel?.

Disinilah eksistensi dan efektivitas PBB melalui resolusinya sedang diuji dan dipertaruhkan. Bila resolusi kali ini ternyata tidak mampu membendung tindakan brutal Israel, maka itu artinya PBB telah gagal untuk menjaga dan memelihara perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB. Bila hal itu yang terjadi, maka pada akhirnya PBB tidak lagi dapat dipercaya sebagai lembaga internasional yang bertugas untuk menjaga dan memelihara perdamaian internasional.***

Selasa, 16 Juni 2009

Konflik Tepi Barat

Enam orang tewas akibat bentrokan antara pejuang Hamas dan polisi Palestina di Tepi Barat, demikian pernyataan pejabat setempat.

Tiga aparat polisi, 2 anggota Hamas dan sorang pria lain terbunuh dalam sebuah bentrok bersenjata ketika polisi mencoba menahan sejumlah anggota Hamas dalam sebuah penangkapan fajar tadi di Qalqilya.

Pejabat setempat menyatakan polisi yang melakukan penahanan adalah kelompok yang setia kepada pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, dari kelompok Fatah.

Ini merupakan salah satu bentrok terburuk di Tepi Barat sejak Hamas memegang kendali atas Jalur Gaza tahun 2007.

Pemilik sebuah rumah dimana sejumlah laki-laki bersenjata Hamas bersembunyi juga terbunuh, kata pejabat keamanan Palestinan, menurut kantor berita Reuters.

Ketegangan faksi

Pertempuran meletus ketika polisi hendak menahan Mohammed al-Samman, komandan pasukan bersenjata Hamas di utara Tepi Barat, kata sejumlah laporan.

Samman dan anggota Hamas lainnya, mengabaikan seruan agar menyerah, kata sejumlah saksi mata pada Reuters.

Juru bicara pasukan keamanan Palestina Adnan Damiri mengatakan "ribuan" tembakan ditujukan pada pasukan keamanan Palestina sepanjang pertempuran ini







6 tewas akibat bentrok Tepi Barat


Enam orang tewas akibat bentrokan antara pejuang Hamas dan polisi Palestina di Tepi Barat, demikian pernyataan pejabat setempat.

Tiga aparat polisi, 2 anggota Hamas dan sorang pria lain terbunuh dalam sebuah bentrok bersenjata ketika polisi mencoba menahan sejumlah anggota Hamas dalam sebuah penangkapan fajar tadi di Qalqilya.

Pejabat setempat menyatakan polisi yang melakukan penahanan adalah kelompok yang setia kepada pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, dari kelompok Fatah.

Ini merupakan salah satu bentrok terburuk di Tepi Barat sejak Hamas memegang kendali atas Jalur Gaza tahun 2007.

Pemilik sebuah rumah dimana sejumlah laki-laki bersenjata Hamas bersembunyi juga terbunuh, kata pejabat keamanan Palestinan, menurut kantor berita Reuters.

Ketegangan faksi

Pertempuran meletus ketika polisi hendak menahan Mohammed al-Samman, komandan pasukan bersenjata Hamas di utara Tepi Barat, kata sejumlah laporan.

Samman dan anggota Hamas lainnya, mengabaikan seruan agar menyerah, kata sejumlah saksi mata pada Reuters.

Juru bicara pasukan keamanan Palestina Adnan Damiri mengatakan "ribuan" tembakan ditujukan pada pasukan keamanan Palestina sepanjang pertempuran ini.



Sementara Hamas membalas pernyataan ini dari Gaza dengan sebuah pernyataan yang menyebut pasukan Abbas sebagai "agen Zionis".

"Upaya mereka mengepung dan memburu buron dengan bantuan musuh [Israel] merusak sendi upaya perlawanan" oleh Hamas, Reuters mengutip pernyataan kelompok itu.

Fatah menolak klaim Hamas, mengatakan bahwa bentrokan ini hanya merupakan upaya penegakan hukum.

Kini muncul kekhawatiran akan banyak terjadi aksi penahanan akibat hal-hal sepele di Tepi Barat West dan Gaza, sebagaimana berlangsung sebelumnya, kata wartawan BBC Aleem Maqbool di Ramallah.

Bentrok antar faksi di Gaza terjadi sebelumnya musim panas tahun 2007 ketika para pejuang Hamas mengusir keluar pasukan keamanan pro-Fatah dan menggulingkan otoritas Palestina.

Selain ketegangan yang terus berlanjut, dua pihak sama-sama dituduh melakukan penahanan dengan latar politis dan melakukan penganiayaan terhadap anggota kelompok pesaing.

Menyatukan perbedaan antara Fatah dan Hamas dianggap merupakan langkah esensial sebelum mewujudkan cita-cita perdamaian Israel-Palestina.

Tidak seperti PLO yang didominasi Fatah, Hamas menolak mengakui hak keberadaan Israel dan menyatakan perang terhadap negara itu selama bertahun-tahun.

i.

Senin, 09 Maret 2009

Sejarah HAMAS

Syekh Ahmad Yassin, salah satu pendiri Hamas, yang dibunuh Israel pada tanggal 22 Maret 2004, adalah seorang guru kelahiran 1 Januari 1929, yang mencatatkan organisasi Mujama al-Islami Hamas ini secara legal di Israel pada 1978. Ia berpijak ke Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna pada 1928 di Mesir. Pemerintah Israel kala itu justru menyokong Hamas, yang hanya berkutat di bidang sosial, moral, dan pendidikan. Tel Aviv juga memanfaatkan Hamas untuk menyaingi kepopuleran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat.

Matthew Levitt dalam bukunya, Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad, menulis, Hamas yang akronim dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya atau Gerakan Perlawanan Islam didirikan pada 14 Desember 1987. Organisasi ini merupakan pengembangan dari Persaudaraan Muslim—yang berpusat di Mesir—cabang Palestina.

Berkembang sebagai organisasi karitas, Hamas diam-diam juga berkembang sebagai organisasi bersenjata. Hal ini baru terkuak di akhir 1987. Yassin, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, meluncurkan Harakat Muqawama al-Islamiya — disingkat Hamas —yang berarti Gerakan Perlawanan Islam.

Tujuan pendirian Hamas dicantumkan di aktanya: "mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci bumi Palestina". Dengan kata lain: melenyapkan bangsa Israel dari Palestina dan menggantinya dengan negara Islam. Hamas baru ini dibidani Yassin dan tujuh orang berpendidikan tinggi: Abdul Aziz al-Rantissi (dokter spesialis anak), Abdul Fatah Dukhan dan Muhammad Shamaa (keduanya guru), Isa Nashar dan Abu Marzuq (insinyur mesin), Syekh Salah Silada (dosen), dan Ibrahim al-Yazuri (farmakolog).

Hamas didirikan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang lebih dahulu dalam menghadapi Israel. Mereka dinilai lembek dan cenderung kompromistis. Fatah, misalnya, membuka dialog dengan Israel.

Peluncuran Hamas menemukan momentumnya dengan kebangkitan Intifadah I, yang bergolak di sepanjang Jalur Gaza. Anak-anak Palestina tak gentar melawan tentara Israel dengan batu-batu sekepalan tangan. Sejak itu, sayap-sayap militer Hamas beroperasi secara terbuka. Mereka meluncurkan sejumlah serangan balasan—termasuk bom bunuh diri—ke kubu Israel.

Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Deklarasi Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa "memerintah" di kedua wilayah itu. Arafat "mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai". Hamas tidak menyetujui perjanjian ini.

Pada Januari 2006, Hamas melangkah ke arena politik formal. Secara mengejutkan, mendulang kemenangan—meraih 76 dari 132 kursi dalam pemilihan anggota parlemen Palestina. Hamas mengalahkan Fatah, partai berkuasa sebelum pemilu saat itu. Kabinet yang didominasi orang Hamas terbentuk.

Rabu, 28 Januari 2009

Biodata

Nama : Hamzah
Alamat : Jln.Margodadi 1/20
TTL : Surabaya,7 Maret 1994
E-Mail : hamzah.gundih26@gmail.com
Blogger : http://www.palestinis.blogspot.com

Konflik Israel Palestina

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan YerusaleSejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
Status dan masa depan
Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
Keamanan Israel.
Keamanan Palestina.
Hakikat masa depan
negara Palestina.
Nasib para
pengungsi Palestina.
Kebijakan-kebijakan
pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.
Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari
perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.
Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan,
anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap
pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.m Timur.Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini" [1] [2].
Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.